LINIKATA.COM, PATI – Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Adib Miftahul, mengatakan, dinamika panas di Kabupaten Pati disebabkan faktor utama Bupati Pati, Sudewo, tidak mengerti esensi demokrasi. Padahal, dia harusnya memahami bahwa teori demokrasi terletak pada partisipasi aktif warga negara dalam menentukan arah pemerintahan dan kebijakan publik, juga adanya jaminan kebebasan dan kesetaraan.
Dalam enam bulan ini saja ada beberapa kebijakan yang menuai polemik panas. Kebijakan itu adalah naiknya Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sampai 250 persen bahkan lebih, rencana pajak bagi Pedagang Kaki Lima (PKL), gaya kepemimpinan yang dinilai mirip gaya orde baru, dugaan nepotisme dalam perekrutan direksi RSUD Soewondo, dan berbagai kebijakan lainnya.
“Menantang rakyatnya sendiri itu gaya preman. Padahal Dia (Sudewo) saat kampanye itu memohon dan seolah mengemis minta suara rakyat Pati. Banyak memberikan janji, ketika terpilih, gaya dan model kepemimpinan malah berbalik menantang rakyat. Nah ini seperti mabuk kekuasaan, akhirnya tidak memahami dan lupa akan esensi bahwa dalam demokrasi, dia adalah pelayan rakyat. Bosnya yang punya kedaulatan tertinggi itu, ya rakyat,” ungkapnya saat dihubungi awak media, Minggu (20/7/2025).
Baca juga:
Pengamat kelahiran Pati yang kini menjadi Dosen Fisip UNIS Tangerang, Banten itu, melanjutkan, lolosnya kebijakan yang dinilai merugikan rakyat Pati juga dikarenakan minim dan redupnya pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati. Sebab, dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, DPRD harusnya menjadi yang pertama dan terdepan untuk mengkoreksi sesuai tupoksinya.
“Maka, ketika misalnya ada suara atau asumsi dan kecurigaan dari publik bahwa DPRD sudah tersandera karena diduga sudah dibagi-bagi proyek adalah hal yang lumrah dan wajar. Juga ini bisa dinilai bentuk penghianatan DPRD terhadap rakyat Pati yang sudah mewakilkan suaranya dalam Pemilu, karena nyaris mirip paduan suara, yaitu asal setuju tak peduli kebijakan yang diambil menyengsarakan rakyat,” tegas Adib.
“Akhirnya gaya kepemimpinan model otoritarianisme dengan mengharapkan kepatuhan mutlak dan absolut berusaha diterapkan. Artinya bupati ingin menjadi seorang pemimpin, yang memiliki kontrol penuh dan tidak memberikan ruang bagi partisipasi pihak lain, utamanya partisipasi dari rakyat,” tegasnya lagi.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) mengkritik kinerja Sudewo yang penuh pencitraan, yaitu hanya eksis pada rutinitas seremonial tanpa menyentuh akar persoalan. Komunikasi publik dan semiotika politik yang dilakukan Sudewo memberi pesan bahwa apa yang dikerjakan adalah merupakan hal yang luar biasa dan seolah dirinya menjadi pahlawan bagi masyarakat Pati. Padahal menurut Adib, kinerja selama ini biasa saja, hanya menyelesaikan kewajiban, seremonial dan tak ada yang istimewa.
“Urgensi mendesak yang harusnya jadi skala prioritas segera diselesaikan dengan langkah kongrit itu adalah akses kesehatan dan pendidikan yang masih mahal serta susah, minim lapangan pekerjaan, kemiskinan ekstrem, desa tertinggal, masalah sosial dan ketahanan ekonomi serta banyak lagi. Jika Sadewo bisa menyelesaikan ini, baru bisa dikatakan Bupati visioner. Tapi mirisnya, jangankan menyelesaikan, road map untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut saja tak detil dan tak tergambar maksimal,” terangnya.
“Contoh pencitraan yang dibungkus keberhasilan adalah soal pembangunan jalan-jalan itu Mas. Kenapa? Gausah Bupati, Tukang Bangunan juga bisa *(Sekali lagi tanpa ada maksud merendahkan Tukang Bangunan)* Kenapa? Lah Bupati punya duitnya (APBD), punya kuasa, punya sumber daya manusia (SDM) organisasi pemkab Pati, apa yang istimewa? Gak ada. Maka saya bilang, gausah Bupati, siapapun kalau punya resourcesnya begitu ya semua bisa,” terangnya lagi.
Pria yang juga alumnus madrasah aliyah Salafiyah Kajen ini dalam statemen penutupnya memberi saran agar Sudewo jangan mengabaikan suara rakyat. Di era disrupsi informasi, people power bisa bergerak dengan narasi perlawanan dengan begitu otomatis akan merugikan kader Gerindra ini secara kepuasan publik dan menurunnya elektabilitas politik.
“Sudewo, harusnya malu dan mencontoh Presiden Prabowo yang bertransformasi sebagai pemimpin egaliter dekat dengan rakyat, dari figur pemimpin elitis yang dulu penuh stempel bagian dari orde baru. Lah ini Bupati Sudewo, kok pengen kebalikannya,” tutupnya. (LK1)
Editor: Ahmad MuhlisinÂ