LINIKATA.COM, PATI – Usulan Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) ternyata berawal dari rapat di Rumah Bupati Pati Sudewo di Desa Slungkep, Kecamatan Kayen, pada 23 Maret 2025. Hal ini terungkap saat Panitia Khusus (Pansus) Pemakzulan Bupati Pati Sudewo menghadirkan mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pati, Sukardi, di ruang banggar, Kamis (21/8/2025).
Fakta ini tentu berbeda dengan penjelasan tiga camat dan Plt Kepala BPKAD Pati Febes Mulyono di Rapat Pansus sebelumnya yang menyatakan pembahasan kenaikan PBB-P2 pertama kali dilakukan di Pendapa Pati pada Mei 2025.
Padahal, rapat di rumah Bupati Pati Sudewo itu juga dihadiri Febes yang pada saat itu masih menjabat Camat Gunungwungkal.
Baca juga: BPKAD Pati Akui Tak Ada Kajian Kenaikan PBB-P2 250 Persen
Rapat yang dihadiri Bupati Pati, BPKAD Pati, para camat, perwakilan kepala desa, dan tamu undangan lain itu membahas kenaikan target pendapatan PBB-P2 2025.
Sukardi mengatakan, rapat itu menghadirkan akademisi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) untuk menghitung potensi pajak dan retribusi daerah. Hasilnya, target PBB-P2 disepakati naik dari Rp29 miliar menjadi Rp90 miliar.
“Setelah diputuskan hasil rapat itu menjadi kebijakan, kemudian kami rumuskan angka itu dengan menggunakan ketentuan, yaitu harga rata-rata transaksi jual beli lahan di Pati secara keseluruhan, tetap ada pengurangan sekitar Rp10 juta, dan menggunakan NJKP (Nilai Jual Kena Pajak),” bebernya.
Penjelasan Sukardi ini akhirnya memantik gelombang pertanyaan dari anggota pansus. Mereka rata-rata mempertanyakan keabsahan rapat di rumah pribadi Bupati Pati itu.
Baca juga: Kritik Kenaikan PBB-P2 250 Persen, Perangkat Desa di Pati Terancam Dipecat
Ketua Pansus, Teguh Bandang Waluyo, bahkan mendesak Sukardi menunjukkan legalitas rapat seperti undangan hingga daftar hadir rapat.
“Dalam rapat itu, siapa yang mengundang? Bupati atau BPKAD? Terus peserta tanda tangan kehadiran apa tidak? Karena kalau rapat resmi harus ada undangan dan daftar hadir,” tanyanya ke Sukardi.
Dari sinilah kemudian muncul kejanggalan, karena BPKAD Pati merupakan pihak terundang. Sedangkan yang mengundang adalah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pati yang saat itu masih dipimpin Riyoso.
Soal daftar hadir, pria yang kini menjabat Plt Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah (Arpusda) Pati itu awalnya sering mengelak untuk menjawab dan setelah didesak akhirnya mengakui bahwa tidak ada.
Mendapat pengakuan ini, pihak pansus langsung menyebut bahwa rapat itu tidak sah. Padahal, rapat itu jadi pijakan penentuan kenaikan PBB-P2 yang dalam tiga rapat selanjutnya yang bersifat resmi. Dari tiga rapat itulah akhirnya disepakati kenaikan PBB-P2 maksimal 250 persen. (LK1)
Editor: Ahmad Muhlisin