LINIKATA.COM, PATI – Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Kabupaten Pati menyepakati kebijakan Bupati Pati, Sudewo, yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mencapai 250 persen harus dikaji ulang.
Dalam forum yang melibatkan LBM PCNU dan MWC-NU se-Kabupaten Pati di Masjid Sabilul Huda, Kembang, Dukuhseti, Rabu (9/7/2025), disepakati bahwa kebijakan tersebut bukan hanya problematik secara sosial-ekonomi, tetapi juga secara normatif keislaman dan hukum positif.
Berikut ini hasil Bathsul Masail oleh LBM NU Kabupaten Pati:
Tinjauan Fikih: Pajak Tidak Boleh Membebani Umat
Secara fikih, penarikan pajak (al-dharibah) dalam Islam pada dasarnya haram, karena dianggap sebagai pengambilan harta tanpa dasar yang sah. Namun, para ulama fikih klasik dan kontemporer seperti Imam al-Ghazali, Ibn Hazm hingga Imam Nawawi menyatakan, bahwa pajak bisa dibolehkan, bahkan wajib dalam kondisi darurat atau kebutuhan mendesak negara, dengan syarat ketat.
Baca juga: Beredar Imbauan Urus Administrasi Wajib Bayar PBB, Warga: Pelayanan Jangan Dikaitkan Bayar Pajak
Menurut pandangan fikih kontemporer (Dr Wahbah az-Zuhaili) dibolehkannya pemungutan pajak harus memenuhi empat syarat, antara lain, Negara benar-benar membutuhkan karena kas kosong dan zakat tidak mencukupi.
Kemudian, distribusi harus adil, tanpa membebani kelompok tertentu secara tidak proporsional, pajak digunakan untuk kemaslahatan umum.
Terakhir, disetujui oleh masyarakat, melalui mekanisme syura (musyawarah), seperti DPRD dan tokoh masyarakat, ormas maupun akademisi. Kenaikan pajak yang tidak melalui musyawarah terbuka dan dinilai tergesa-gesa, dinilai melanggar prinsip-prinsip ini.
Kemudian, dalam konteks kebijakan PBB-P2 di Kabupaten Pati, bahwa bathsul masail tersebut mengangkat masalah kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen oleh Bupati Pati yang menimbulkan gejolak.
Meskipun ada tujuan kemaslahatan, kebijakan itu dianggap sepihak atau tanpa konsultasi publik yang memadai. Kemudian, belum mempertimbangkan kemampuan masyarakat, khususnya golongan ekonomi menengah ke bawah serta menimbulkan potensi kemafsadatan (kerugian sosial-ekonomi).
Baca juga: Belasan Ribu Warga Pati Akan Demo Tolak Kenaikan PBB-P2 pada 13 Agustus
Tinjauan Fikih soal Kebijakan Kenaikan Tarif PBB-P2
LBM NU menggarisbawahi kaidah penting dalam ushul fikih, “Daf‘ al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ”. Yakni, mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Dengan kata lain, jika suatu kebijakan ekonomi (seperti pajak) justru menimbulkan kerusakan sosial, keresahan, dan beban berat yang tidak proporsional, maka kebijakan itu perlu ditinjau ulang, meskipun niat awalnya demi pembangunan dan kemajuan daerah.
Prinsip Keadilan Pajak dalam Islam
Merujuk pada pandangan Syekh Abdul Wahhab Khalaf, bahwa pajak tidak boleh melebihi kemampuan wajib pajak.
Kemudian mekanisme dan waktu pembayaran harus mempertimbangkan kelonggaran dan kepentingan publik.
Pajak sebaiknya diambil dari surplus/pertumbuhan harta, bukan dari modal pokok.
Kesimpulan Fikih
Kebijakan pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat syar’i, yakni adil, proporsional, transparan, berdasarkan kebutuhan riil, dan disetujui masyarakat.
Dalam kasus kenaikan drastis PBB-PP di Pati, meskipun sesuai Perda menurut pemerintah, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
Baca juga: Riyoso: Pemkab Pati Tak Bisa Turunkan PBB-P2, tapi Warga Bisa Ajukan Keringanan
Maka, pemimpin perlu meninjau ulang kebijakan tersebut, dengan memperhatikan aspirasi rakyat, agar tercapai kemaslahatan tanpa menimbulkan ketimpangan sosial.
Batasan Syariat atas Beban Pajak
Pajak tidak boleh membebani rakyat melebihi kemampuannya. Kemudian kenaikan beban hingga 250% berpotensi melanggar prinsip raf’ulharaj (menghindari kesulitan) dalam ushul fikih.
Kajian Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan
A. Regulasi Nasional
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah berwenang mengatur tariff pajak dalam batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Perubahan tarif harus melalui, penetapan dalam Peraturan Daerah, kajian naskah akademik dan partisipasi publik
B. Peraturan Daerah Kabupaten Pati
Kenaikan pajak hingga 250% diduga tidak melalui tahapan kajian sosial-ekonomi mendalam dan sosialisasi partisipatif.
Hal ini berpotensi melanggar asas keterbukaan, keadilan, dan akuntabilitas, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kesimpulan
Dari sisi fikih, pajak tidak diperbolehkan kecuali factor darurat atau hajat dengan catatan dilaksanakan melalui proses yang adil, akuntabel, proporsional dan tidak membebani rakyat secara berlebihan serta harus untuk kemaslahatan umum.
Kenaikan hingga 250 persen, tanpa kajian dan sosialisasi memadai, berpotensi menimbulkan kezaliman fiskal dan melanggar maqashid syariah.
Baca juga: Naikkan PBB-P2 250 Persen, Bupati Pati Dinilai Langgar Konstitusi dan Perda
Dari sisi sosial, kebijakan ini menimbulkan keresahan dan ketimpangan ekonomi.
Dari sisi regulasi, kebijakan tersebut perlu ditinjau kembali jika belum memenuhi asas-asas peraturan yang baik.
Maka, Forum memutuskan :
Menurut kacamata fikih, kebijakan Bupati Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan dinilai kurang tepat (jika) memberatkan Masyarakat.
Catatan tambahan, dalam temuan kajian :
Sampai saat ini, mayoritas masyarakat merasa keberatan dengan signifikansi kenaikan beban pajak terbaru
Bupati Pati dinilai telah menentukan kebijakan secara sepihak tanpa berkenan mendengarkan suara rakyat dari bawah
Kemaslahatan cita-cita pembangunan dan infrastruktur di Kabupaten Pati tidak aple to aple dibandingkan dengan kemafsadahan beban kenaikan pajak yang harus diemban masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah
Pemerintah terkesan mendadak dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial, sehingga terakumulasi dirasa kurang nyaman untuk diterima masyarakat
Pendapatan APBD tidak hanya bersumber dari PBB-P2
Perlu adanya penyeimbangan dan dispensasi-dispensasi bagi masyarakat yang benar-benar kurang mampu.
Masih terjadi ketimpangan-ketimpangan nilai pajak yang mengalami kenaikan, sebagai dampak dari ketergesa-gesaan pemberlakuan kebijakan sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya error system / human error dalam tataran pelaksanaan perpajakan tersebut.
Rekomendasi
Kepada Bupati Pati dan Kabid BPKAD, LBM NU Kabupaten Pati merekomendasikan:
Melakukan evaluasi terhadap kebijakan kenaikan pajak hingga 250 persen, dengan melibatkan unsur ulama, akademisi, dan masyarakat.
Baca juga: Ramai di Medsos Ajakan Demo PBB-P2, Sudewo: ‘Silakan, Saya Tidak Akan Gentar’
Menunda penerapan penuh atau memberikan stimulus dan keringanan bagi kelompok terdampak berat.
Menggagas forum musyawarah daerah terbuka sebagai saran diskusi dan kontrol sosial terhadap kebijakan fiskal.
Memastikan transparansi penggunaan dana pajak, agar kepercayaan publik tetap terjaga.
Mendorong pemerintah daerah menyusun ulang perda pajak dengan memperhatikan maqashid syariah dan keadilan sosial. (LK1)
Editor: Ahmad Muhlisin